Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Bag.3)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Bag.3)
Oleh : Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahfi Al-Qahthaniy rahimahullah
MADZHAB AHLUSS SUNNAH WAL JAMA'AH SECARA IJMAL  / GLOBAL MENGENAI SIFAT-SIFAT ALLAH
 Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan  sifat-sifat Allah Ta'ala, tanpa ta'thil, tamtsil, tahrif, dan  takyif.1  Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an  dan Al-Hadits.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan  sifat-sifat Allah Ta'ala, tanpa ta'thil, tamtsil, tahrif, dan  takyif.1  Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an  dan Al-Hadits.- Tahrif
Tahrif secara bahasa berarti merubah dan  mengganti. Menurut pengertian syar'i berarti: merubah lafazh Al-Asma'ul Husna  dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi, atau makna-maknanya. Tahrif ini dibagi  menjadi dua:
Pertama:
Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau  merubah bentuk lafazh. Contohnya adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang  yang mengikuti pemahaman mereka, bahwa إِسْتَوَى 2 Adalah إِسْتَوْلى 3 Disini ada penambahan huruf  lam (ل ). Demikian pula  perkataan orang-orang Yahudi, حِنْطَةٌ4   ketika  mereka diperintah untuk mengatakan  5حِطَّةٌ  Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid'ah yang  memanshubkan6 lafazh Allah dalam ayat :
 
وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً 
"Dan Allah berbicara kepada Musa dengan  langsung." [An-Nisa' : 164].
Kedua:
Merubah makna. Artinya, tetap membiarkan  lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya.  Contohnya adalah perkataan Ahli Bid'ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan  iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang),  dengan iradatul in'am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan),  dengan an-ni'mah (nikmat). 
- Ta'thil
Ta'thil secara bahasa berarti meniadakan.  Adapun menurut pengertian syar'i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari  Allah Ta'ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau  mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta'thil yaitu :  ta'thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an  dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur'an dan  As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.
MACAM-MACAM TA'THIL
Ta'thil ada bermacam-macam.
- Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma' dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian dari-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu'tazilah.
- Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya.
- Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
- Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta'thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta'thil melakukan tahrif. Siapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta'thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu'athil (pelaku ta'thil), tetapi bukan muharif (pelaku tahrif).
- Takyif
Takyif artinya bertanya dengan kaifa  (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan  memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/ keadaan tertentu  untuknya. Meniadakan bentuk/ keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna  yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari  bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum Salaf, sebagaimana dituturkan  oleh Imam Malik رحمه الله تعالى ketika ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa', -bersemayam-.  Beliau رحمه الله menjawab  :
الإِسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالكَيْفُ مَجْهَوتٌ  وَالإِمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
"Istiwa' itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya adalah bid'ah."7
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang  hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan  tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut.  Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya,  secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak sebagaimana  orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.
- Tamtsil
Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu  menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta'ala dalam sifat-sifat Dzatiyah  maupun Fi'liyah-Nya.
Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu  :
Pertama :
Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya  orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta'ala  dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan 'Uzair dengan Allah pula. Maha Suci  Allah dari itu semua.
Kedua :
Menyerupakan Pencipta dengan makhluk.  Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti  wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran  yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki  oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah  dari apa yang mereka ucapkan.8
ILHAD TERHADAP ASMA' DAN SIFAT-SIFAT  ALLAH
Pengertian ilhad terhadap Asma' dan  Sifat-sifat Allah adalah menyimpangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah,  hakekat-hakekatnya, atau makna-maknanya, dari kebenarannya yang pasti.  Penyimpangan ini bisa berupa penolakan terhadapnya secara total atau  pengingkaran terhadap makna-maknanya, atau pembelokannya dari kebenaran dengan  menggunakan interpretasi yang tidak benar, atau penggunaan nama-nama tersebut  untuk menyebut hal-hal yang bid'ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para  penganut paham "Ittihad". Jadi, yang termasuk dalam kategori ilhad adalah  tahrif, ta'thil, takyif, tamtsil dan tasbih.9
.......... bersambung, insya Allah.
Sumber : https://www.facebook.com/notes/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF-subagyo/syarah-al-aqidah-al-wasithiyah-syaikhul-islam-ibnu-taimiyyah-bag3/10150695602836221
Sumber : https://www.facebook.com/notes/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF-subagyo/syarah-al-aqidah-al-wasithiyah-syaikhul-islam-ibnu-taimiyyah-bag3/10150695602836221
1 Serta tanpa tafwidh
2 Istawa artinya berada di atas; (setelah dahulunya tidak)
3 Istaula artinya menguasai
4 Hinthat artinya gandumpent
5 Hiththah artinya bebaskan kami dari dosapent
6 Maksudnya, lafazh Allah dibaca dengan harakat akhir fathah ( اللهَ ), padahal semestinya harakat akhirnya dibaca dengan dhammah ( اللهُ ) . Dengan dimanshubkan, maka kedudukan lapazh Allah dalam ayat tersebut menjadi obyek, sehingga arti ayat tersebut berubah menjadi, Dan Musa berbicara kepada Allah secara langsung
7 Fatawa Ibnu Taimiyyah, V/144
8 Al-Kawasyif Al-jaliyah an Ma'ani Al-Wasithiyah, hal.86
Syaikh Abdul Aziz bin Baz hafizhahullah  berkata : Ada tasybih jenis ketiga, yaitu menyerupakan Sang Pencipta dengan  madumat, (sesuatu yang tidak ada), tidak sempurna dan benda-benda mati. Inilah  tasybih yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham Jahmiyah dan  Mu'tazilah
9 Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 32 dan Syarh Al-Aqidah  Al-Wasithiyah, Al-Haras, hal. 24

 
 
 
 
 
 
 
 

0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.